Road To South Africa 2010

Road To South Africa

Club 19

Usia puncak seorang pesepakbola pada umumnya setelah memasuki "twenty-something" atau 20 tahun ke atas. Namun pemuda-pemuda belia ini telah dipercaya oleh para pelatihnya untuk menghuni skuad tim Piala Dunia negara masing-masing. Sebagian mendapatkan kesempatan untuk tampil, sebagian tidak. Namun kredit perlu kita berikan kepada mereka atas capaian karir yang istimewa sebelum usia mereka genap 20 tahun. Maka dari itu sekelompok "young guns" ini boleh kita sebut sebagai Club 19.


Uruguay 1930

Edmundo Piaggio, Argentina, 3 Oktober 1910
Manuel Rosas, Meksiko, 17 April 1912
Momcilo Dokic, Yugoslavia, 27 Pebruari 1911
Aleksandar Tirnanic, Yugoslavia, 15 Juli 1911
Carvalho Leite, Brasil, 25 Juni 1912
Segundo Durandal, Bolivia, 17 Maret 1912
Nicolae Kovacs, Rumania, 23 Desember 1911
Jose Maria Lavalle, Peru, 5 Juni 1911
Lizardo Rodriguez Nue, Peru, 30 Agustus 1910
Delfin Benitez Caceres, Paraguay, 24 September 1910
Andre Saeys, Belgia, 20 Pebruari 1911

Italia 1934

Cestmir Patzel, Cekoslovakia, 2 Desember 1914
Edmund Conen, Jerman, 10 Nopember 1914
Albert Guinchard, Swiss, 10 Nopember 1914
Louis Gabrillargues, Prancis, 16 Juni 1914
Manus Vrauwdeunt, Belanda, 29 April 1915
Roberto Iraneta, Argentina, 21 Maret 1915
Mustafa Mansour, Mesir, 2 Agustus 1914
Georges Putmans, Belgia, 29 Mei 1914

Brasil 1950
Guillermo Diaz, Cile, 29 Desember 1930
Angel Berni, Paraguay, 9 Januari 1931
Ruben Moran, Uruguay, 6 Agustus 1930

Swiss 1954
Tas Coskun, Turki, 23 April 1935
Raul Arellano, Meksiko, 28 Pebruari 1935
Omar Mendez, Uruguay, 7 Agustus 1934
Mario Mendez,Uruguay, 11 Mei 1938

Swedia 1958
Karl-Heinz Schnellinger, Jerman Barat, 31 Maret 1939
Ove Ohlsson, Swedia, 19 Agustus 1938
Pele, Brasil, 23 Oktober 1940

Cile 1962

Dobromir Zhechev, Bulgaria, 12 Nopember 1942
Georgi Asparukhov, Bulgaria, 4 Mei 1943
Gianni Rivera, Italia, 18 Agustus 1943
Antonio Mota, Meksiko, 1 Januari 1943

Inggris 1966

Lee Chang-myung, Korea Utara, 2 Januari 1947
An Se-bok, Korea Utara, 29 Oktober 1946
Oscar Mas, Argentina, 29 Oktober 1946
Edu, Brasil, 6 Agustus 1949
Elias Figueroa, Cile, 25 Oktober 1946

Meksiko 1970

Marco Antonio, Brasil, 6 Pebruari 1951

Jerman 1974

Martin Hoffmann, Jerman Timur, 22 Maret 1955
Zdzislaw Kapka, Polandia, 7 Desember 1954
Vladimir Petrovic, Yugoslavia, 1 Juli 1955
Julio Cesar Jimenez, Uruguay, 27 Agustus 1954

Argentina 1978

Andrzej Iwan, Polandia, 10 Nopember 1959
Enrique Lopez Zarza, Meksiko, 25 Oktober 1958
Hugo Rodriguez, Meksiko, 14 Maret 1959

Espana 1982

Abdulaziz Mohammed, Kuwait, 4 Desember 1962
Norman Whiteside, Irlandia Utara, 7 Mei 1965
Sergei Rodionov, 3 September 1962
Wynton Rufer, Selandia Baru, 29 Desember 1962

Meksiko 1986

Abdellah Bidar, Maroko, 19 Agustus 1967
Zsolt Petry, Hungaria, 23 September 1966

Italia 1990

Ronald Gonzalez, Kosta Rika, 8 Agustus 1970
Chris Henderson, Amerika Serikat, 1970

USA 1994

Sunday Oliseh, Nigeria, 14 September 1974
Ronaldo Luiz Nazario, Brasil, 22 September 1976
Read More

John L. Langenus


John Langenus, lahir di Berchem, Belgia, pada tanggal 8 Desember 1891, adalah orang pertama yang menjadi wasit pertandingan final Piala Dunia. Kepercayaan FIFA kepada Langenus untuk memimpin laga pamungkas Uruguay melawan Argentina pada tahun 1930 sangat masuk akal. Reputasi dan pengalamannya sebagai wasit internasional sangat meyakinkan. Sebelum berkiprah di Piala Dunia, Langenus telah teruji dalam event sepakbola Olimpiade musim panas tahun 1928.

Terdapat beberapa hal menarik tentang Langenus. Pertama, meskipun ia seorang Belgia, namun orang tua Langenus memberinya nama layaknya seorang penganut Anglikan. Langenus seharusnya memiliki nama depan "Jean", bukan "John". Maka dari itulah dalam versi lain ia juga disebut sebagai Jean Langenus. Kedua, nama lebih lengkapnya adalah John L. Langenus. Inisial "L" tidak diketahui kepanjangannya, atau setidaknya, penulis belum menemukan sumber resmi yang memuat informasi tentang hal ini. Ketiga,
Langenus selalu mengenakan seragam yang sama, yakni jas berdasi dan topi, tanpa mempedulikan cuaca selama pertandingan berlangsung.

Dalam ujian seleksi wasit, John L. Langenus tidak dapat menjawab sebuah pertanyaan yang diberikan oleh tim penguji. Pertanyaan tersebut berbunyi, "What is the correct procedure if the ball strikes a low-flying plane?".

John L. Langenus meninggal dunia pada usia 61, tepatnya pada tanggal 1 Oktober 1952.
Read More

Arnaldo Cezar Coelho


Arnaldo David Cezar Coelho, lahir pada tanggal 15 Januari 1943, adalah wasit pertama dari luar Eropa yang memimpin pertandingan final Piala Dunia. Ia dipilih oleh FIFA sebagai pengadil pertandingan final Piala Dunia 1982 di Stadion Santiago Bernabeu, Madrid, antara Italia dan Jerman Barat.

Coelho mengawali karirnya sebagai wasit sepakbola pantai (beach soccer). Ia pernah menjadi wasit bergaji termahal di dunia. Coelho resmi menjadi wasit internasional pada tahun 1968. Selama mewasiti Piala Dunia 1978 dan 1982, ia memimpin 3 pertandingan dan menjadi hakim garis sebanyak 4 kali.

Setelah pensiun dari perwasitan, aktivitas Arnaldo Cezar Coelho tidak jauh-jauh dari sepakbola, yakni menjadi komentator di stasiun televisi Brasil, Rene Globo. Sedikit tambahan informasi, ia memiliki saudara laki-laki bernama Ronaldo Cezar Coelho, seorang tokoh politik negara Brasil dan pendiri Partai Sosial Demokratik (PSDB).
Read More

2006 Jerman

Diantara kemenangan Italia, Ronaldo Luiz Nazario da Lima menorehkan prestasi tersendiri. Ia melewati rekor Gerd Mueller sebagai pencetak gol terbanyak kumulasi Piala Dunia; namun rekor Just Fontaine dalam satu turnamen masih bertahan. Dengan 15 golnya, Ronaldo boleh berbangga sebagai striker tersubur sejak FIFA World Cup diselenggaran pada tahun 1930. Marco Materazzi menjadi "public enemy number one" karena provokasi "busuknya" kepada Zinedine Zidane. Italia tampaknya mati kutu bila Zidane masih berada di lapangan. Maka Materazzi membikin ulang supaya Zidane terpancing. Benar! Zizou harus rela keluar lapangan yang berarti mengurangi jatah eksekutor andalan Les Bleus dalam adu penalti. Fabio Grosso pun tak kalah ketinggalan. Aksi "diving" nya saat melawan Australia membuat the Socceroos terluka. Italia memang penuh kasus jika mereka sukses. Tahun 1934 dan 1938 oleh propaganda fasisme Mussolini, 1982 oleh kasus doping Paolo Rossi, dan tahun ini pula, ada kasus tak mengenakkan menyertai kesuksesan Gli Azzurri, yaitu usaha bunuh diri mantan bek timnas dan Juventus, Gianluca Pessotto. Italia, Italia...kontroversi tiada akhir.
Read More

2002 Korea/Jepang

Lokasi baru, pastinya rekor baru pula. Terbukti sejumlah rekor terjadi. Meskipun bukan kemenangan terbesar, namun delapan gol tanpa balas yang dilesakkan oleh Der Panzer jerman ke gawang Arab Saudi sangat mencengangkan. Miroslav Klose tiba-tiba melesat namanya dengan empat gol pada pertandingan pembuka grup ini. Prancis membuat rekor terburuk juara bertahan dengan tanpa menang, tanpa mencetak gol, dan tidak lolos penyisihan. Senegal ikut mencoreng reputasi bekas penjajahnya itu lewat gol tunggal Papa Bouba Diop, Korea Selatan bertarung laksana "Taeguk Warriors". Mereka melibas tiga tim tangguh, Portugal, Italia, dan Spanyol. Apapun sinisme yang dialamatkan kepada mereka, Korsel tetap fenomenal. Mereka didukung oleh pelatih hebat Guus Hiddink dan menembus empat besar. Kelelahan yang teramat sangat membuat Korsel tumbang di tangan "the master of mentality" Jerman. Tendangan "first time" Michael Ballack menghentikan semua laju tuan rumah dalam seketika. Rekor tak berhenti di sini, Setelah lama dipegang oleh Bryan Robson, akhirnya rekor gol tercepat dalam sejarah. Ronaldo juga memutus mitos top scorer yang sejak 1982 hanya mencetak paling banyak 6 gol. Bahkan Rivaldo hampir saja menyamai prestasi Jairzinho. Sayangnya, ia tidak mampu mencetak gol pada pertandingan final melawan Jerman. Fenomena lain? Dua kekuatan sepakbola dunia Brasil dan Jerman untuk kali pertama berjumpa di Piala Dunia dan hebatnya, mereka bersua di pertandingan Final; lalu, Rigobert Song membuat "hattrick" Untuk ketigakalinya ia mendapatkan kartu merah setelah USA'94 dan Prancis'98. Asia memang eksotis, Asia memang penuh pesona!!!
Read More

1998 Prancis

Alles! Alles! Alles! Empat tahun sebelumnya media Prancis mencibir Les Bleus, "Prancis Juara Dunia 1998" karena kesal tim mereka gagal ke USA'94 yang berbuntut panjang: perkelahian di ruang ganti antara David Ginola dan Eric Cantona. Ah, ternyata cibiran itu menjadi kenyataan. Mungkin arwah Jules Rimet tidak lagi gusar di alam sana setelah menyaksikan tanah airnya berhasil menjadi juara. Spanyol yang termasuk diunggulkan tidak lolos ke 16 besar akibat blunder yang dilakukan oleh Andoni Zubizarretta. Kemenangan atas Bulgaria menjadi tidak berarti. Denmark bertarung sengit melawan Brasil. Acungan jempol diberikan oleh Peter Schmeichel kepada Rivaldo yang tampil hebat pada duel itu. Ariel Ortega menanduk Edwin van der Sar dan menjadi biang kegagalan Argentina menembus semifinal. Mungkin ini kutukan dari ulah "Mister Provocator" Diego Simeone yang sukses mengelabuhi David Beckham yang masih miskin pengalaman Piala Dunia. "One Stupid Boy and Ten Lion's Hearts", sangat menyakitkan jika satu anak bodoh itu harus menderita selama bertahun-tahun, persis seperti yang dialami oleh Stuart Pearce. Italia kembali takluk lewat adu penalti, Kroasia menjadi tim yang sangat dikagumi dan meraih medali perunggu, dan Prancis menjadi tim baru yang menjuarai Piala Dunia.
Read More

1994 USA

Apa jadinya jika Piala Dunia diadakan di negara yang sepakbolanya tidak populer, kalah dari bisbol, superbowl, dan basket? Ternyata Henry Kissinger, mantan US Secretary of State, berhasil meyakinkan Joao Havelange bahwa sepakbola (yang menurut lidah Amerika disebut "soccer") akan tetap menarik. Promosi besar-besaran dilakukan. Stadion mutakhir dengan "retractable roof" (atap anti hujan) dibangun di Detroit, diberi nama Pontiac Silverdome. Amerika Serikat menjadi tuan rumah edisi tahun ini. Roger Milla masih sanggup membawa panji "Indomitable Lions", bahkan mempertajam rekor sebagai pencetak gol tertua Piala Dunia (42 tahun) yang ia cetak ke gawang Rusia. Pada laga ini, Oleg Salenko membuat rekor hebat: mencetak 5 gol! Ini berarti menyamai rekor Emilio "the Hering" Butragueno ke gawang Denmark, 8 tahun silam. Sementara itu Argentina mencoba bangkit dari kesedihan. Mereka datang dengan membawa "the Magnificent Seven" (Maradona, Batistuta, Balbo, Simeone, Ruggeri, Caniggia, Redondo). Malangnya, segala rencana dirusak oleh kecerobohan Maradona yang ketahuan melakukan "doping". Kepada media ia mengatakan, "Mereka (FIFA) memenggal kakiku". Namun apa lacur, barangkali ini tuah dari tindakannya pada tahun 1986, dengan membawa-bawa nama Tuhan untuk berbuat tidak sportif. (red: Inggris kok dilawan...jangan sekali-kali...). Gheorghe Hagi ikut bersinar dengan gol spektakulernya ke gawang Kolombia. Kolombia berduka dengan tewasnya Andres Escobar oleh suporter ultra-nasionalis Kolombia karena ia membuat gol bunuh diri saat melawan Amerika Serikat (kejadian yang membuat John "the Superman" Harkes, pengirim bola waktu itu, sangat terpukul). Argentina tanpa Maradona kacau-balau dan dihajar oleh Rumania. Dari Afrika, kini giliran "Super Eagle" Nigeria yang mengepakkan sayapnya. Sayang sekali, mereka kalah pengalaman dari Italia, khususnya Roberto Baggio, yang tiba-tiba melesat setelah dalam tiga pertandingan grup tak bersuara. Baggio dipuja, namun akhirnya dicerca lantaran kegagalannya dalam adu penalti pada final melawan Brasil. "Gugurnya Sang Pahlawan," demikian salah satu media cetak Indonesia mengambil judul kegagalan Baggio. Ia dipersalahkan dan tidak lagi disentuh oleh Arrigo Sacchi sebelum "comeback to the place where he belonged" pada tahun 1998. Jerman tampil tanpa greget, diwarnai aksi pemecatan Stefan Effenberg, kemenangan kontrovesial melawan Spanyol, dan akhirnya tak berdaya di hadapan Hristo Stoichkov plus armada pemberani Bulgaria. Stoichkov membawa pulang sepatu emas bersama Oleg Salenko. Adapun Selecao memperlebar jarak dari Jerman dan Italia: juara dunia 4 kali. Romario menjadi sorotan media. Duetnya bersama Bebeto menjadi idola meskipun menjelang semifinal keduanya dikabarkan "tidak saling menyapa". Brasil di puncak dunia, meneruskan sukses konstituennya, Sao Paulo yang berjaya di Piala Toyota 1993. Piala Dunia kali ini justru tanpa kehadiran Inggris, nenek moyang the Americans. Mereka digagalkan oleh Belanda. Asia ikut populer lewat aksi dribbling maut Said Owairan ke gawang Belgia yang dijaga peraih penghargaan Lev Yashin Award, Michel Preud'homme.
Read More

1990 Italia

Italia Novanta! Piala Dunia ini mendapatkan penilaian tersendiri oleh para kritisi sepakbola, yakni dalam hal pemilihan maskot. Maskot Italia'90 dinilai sebagai maskot terbaik sepanjang sejarah Piala Dunia. Sekali lagi Afrika menggoyang dunia; menggebrak langsung dengan menggasak juara bertahan Argentina. Gol tunggal Francois-Omam Biyik cukup untuk membuat peta persaingan menjadi kacau. Sedianya jika langkah Argentina mulus (menjadi juara grup), maka Gli Azzurri mungkin tidak akan berjumpa dengan mereka pada semifinal; sebuah kenyataan yang teramat sakit untuk dikenang. Mengapa harus berjumpa Diego Maradona di Napoli? Kota yang seluruh warganya telah sepakat berseru, "Italia adalah tim kesayangan kami, tapi Diego adalah pahlawan kota kami!". Setelah Claudio Caniggia mengoyak keperawanan gawang Walter Zenga, Italia takluk dalam adu penalti. Dua algojo mereka, Aldo Serena dan "Mister 17" Roberto Donadoni menghancurkan mimpi seantero Italia. Tanda-tanda nasib "apes" Italia ini nampaknya telah muncul sejak awal: pada laga penyisihan grup A kontra Amerika Serikat, Gianluca Vialli juga gagal mengeksekusi penalti ke gawang Tony Meola. Kembali ke Kamerun, ternyata keterbelakangan yang identik dengan orang Afrika masih lebih pintar dan cerdas ketimbang seorang Kolombia bernama Rene Higuita. "Ini Piala Dunia, Bung!", mungkin ini yang dibisikkan oleh Roger Milla, "the oldest player who scored in the FIFA World Cup". Higuita sangat bodoh memainkan bola di hadapan Milla dan akibatnya fatal: Gol! Kamerun melaju ke 8 besar menantang Inggris. Gary Lineker, dengan segudang pengalamannya, mengambil momentum yang tepat di dalam kotak penalti. Dua eksekusinya sukses sehingga pasukan Sir Robert William Robson melaju ke semifinal. Itulah sepenggal kisah menarik dari Italia, dihiasi dengan keberhasilan Costa Rica (di bawah pelatih "one of a kind" Velibor Milutinovic), dominasi Lothar Matthaeus, dan tangis Diego Maradona di Stadion Olimpico usai final berakhir. Jika kita hendak mengambil nilai minus, maka tertuju pada absennya Meksiko. Federasi Sepakbola Meksiko diskors oleh FIFA karena pencurian umur dalam kejuaraan yunior.
Read More

1986 Meksiko

Pengalaman pahit empat tahun lalu benar-benar membuat Maradona paham bagaimana cara bersikap di lapangan sebagai seorang profesional. Ia kerahkan segala daya untuk mengangkat prestasi Argentina yang hancur berantakan. Jika akhirnya Tim Tango menjadi juara dunia, kita boleh menyebutnya sebagai "Maradona plus 21 pemain lainnya" lah yang menjadi juara. Di luar "dosa abadi" yang ia perbuat terhadap Peter Shilton lewat gol "tangan Tuhan", El Pibe de Oro langsung membayar kontan tindakannya ini dengan gol....akhh....teramat sulit untuk dituliskan dengan kata-kata....semua orang sudah tahu bagaimana kualitas gol itu! Wakil Afrika, Maroko, membuat mata dunia terbelalak, bahwa sepakbola bukan hanya seputar Eropa dan Amerika Latin. Bahwa apa yang dilakukan oleh Aljazair empat tahun yang lalu bukan ketidaksengajaan. Lewat aksinya yang penuh percaya diri pada penyisihan Grup F, diantaranya dengan menaklukkan Portugal dan menahan Inggris, Maroko melaju ke 16 besar untuk menantang Jerman Barat. Pada babak inipun mereka masih tegar berdiri sebelum gol tendangan bebas Lothar Matthaeus menghentikan langkah raksasa mereka. Inggris kecewa, Inggris terluka. Namun sekiranya ada sedikit penawar duka. Gary Lineker, seorang "True Gentleman" (karena tidak pernah mendapatkan kartu sepanjang karir profesionalnya), memuncaki daftar pencetak gol. Ia juga mengikuti takdir Geoff Hurst dengan mencetak hattrick walaupun itu bukan pada partai final.
Read More

1982 Spanyol

From zero to hero. Itu julukan yang tepat diberikan kepada Paolo Rossi. Punggawa Juventus ini sebelumnya terlibat dalam kasus suap; akan tetapi ia membuktikan bahwa dirinya masih berarti bagi bangsa dan negara. Rossi menjadi top scorer edisi 1982 dan membawa Italia menjadi juara dunia untuk ketiga kalinya (2 trofi Jules Rimet; 1 trofi FIFA World Cup). Dino Zoff pun tak mau ketinggalan membuat sejarah sebagai orang tertua yang tampil di final dan menang. Sementara untuk posisinya sebagai kapten-penjaga gawang, Zoff mengikuti jejak Gianpiero Combi pada tahun 1938. Espana'82 menyisakan cerita manis bagi Bryan Robson. "Captain Marvel" ini menjadi pencetak gol tercepat. Espana'82 menyisakan cerita pahit bagi Diego Maradona. Pemuda yang mengorbit lewat Piala Dunia U-17 tahun 1979 di Tokyo (salah satunya mengalahkan Indonesia dengan skor 5-0), tampaknya masih terlalu hijau bertarung di Piala Dunia. Aksinya menginjak perut pemain Brasil membuat Maradona diusir dari lapangan. Sebuah fakta yang bertolak belakang dengan nuansa yang didengang-dengungkan sebelumnya. Bahkan sebelumnya, pada pemilihan nomor punggung Maradona ngotot untuk memakai nomor punggung 10 yang sebelumnya dikenakan oleh Mario Kempes. Kempes pun mengalah dengan memilih nomor 11. Sementara itu, pemain Irlandia Utara, Norman Witheside, memecahkan rekor Pele sebagai pemain termuda yang tampil di Piala Dunia. Aljazair membuat kejutan dengan mengalahkan Jerman Barat 2-1 melalui gol Lakhdar Belloumi dan Rabah Madjer, tetapi mereka gagal lolos ke babak selanjutnya. Konon kabarnya, semua itu karena "ulah" Austria yang memberikan kemenangan kepada negara serumpun, Jerman Barat. Kelak, nama Rabah Madjer benar-benar menjadi momok bagi tim Jerman. Bersama FC Porto, ia mencetak gol dan mengalahkan Bayern Munich di final Piala Champions 1987 di kota....Wina! A-ha!!! Truth was truly out there...
Read More